KETIKA saluran formal untuk mengungkap masalah atau menegur pemimpin tak tersedia, rakyat tak kehabisan cara. Melalui gandrang bulo rakyat berbicara. Agar sang pemimpin tak marah, seniman gandarng bulo mengungkapkan kritik dengan lelucon.
Gandrang bulo adalah kesenian cerdas. Semacam teater tradisional yang mengangkat berbagai tema dan isu sosial. Terkadang kritikan seniman gandrang bulo begitu keras. Namun dikemas dalam banyolan segar yang mengundang gelak tawa.
Pemain membawakan karakter lucu seperti orang idiot atau orang kampung yang lugu berhadapan dengan pemeran pejabat atau orang berkuasa yang angkuh. Orang idiot dan orang kampung itu selalu berhasil mencibir si pejabat. Begitu lucu gerak-gerik para pemain sehingga orang yang dikritik pun ikut tergelak tertawa.
Pementasan gandrang bulo diiringi musik tradisional yang terdiri dari potongan bambu yang diadu secara serentak, gendang, dan suling atau alat gesek tradisional Makassar. Para pemain gandrang bulo mengenakan pakaian tradisional.
Simaklah pementasan gandrang bulo di Paroppo beberapa waktu lalu. Pementasan ini mengambil tema dottor-dottoro (dokter-dokteran).
Seseorang dokter berbicara dengan pasien lugu yang tak memahami bahasa dokter. Lalu datanglah si mantri menjadi penerjemah. Namun bukannya menolong, si mantri malah memanfaatkan kebodohan pasien. Ia menerjemahkan perkataan dokter berdasarkan kepentingannya.
Ketika dokter meminta pembayaran, si mantri menerjemahkannya dengan harga dua kali lipat. Tentu saja pasien bersungut-sungut karena bayarannya terlalu mahal. "Alle dokttoro pallabusu doi! (Ambillah, dasar dokter pengeruk uang)" katanya. Lakon ini mengkritik biaya pengobatan yang mahal.
Menurut para seniman, perkembangan gandrang bulo terdiri dari dua fase. Fase pertama adalah gandrang bulo klasik yang terdiri dari tari dan musik saja. Fase pertama berkembang pada masa kerajaan. Fase kedua terbentuk pada tahun 1942 saat penjajahan Jepang. Pada fase kedua inilah unsur kritik dimasukkan.
Gandrang bulo 1942 dikreasi sehingga seniman dapat berimprovisasi leluasa melontarkan kritik mereka:
Tahun 1942 na mandara I Tuan Nippon caddi mata. Na passadia bokong latama ri Camba. Kasirati memang tongi I Balanda bunrang mata. Nippon mandara na gudang na tunu pepe. (Tahun 1942 mendarat Tuan Nippon si mata sipit. Menyiapkan bekal masuk ke daerah Camba. Memang kurang ajar si Belanda bermata kabur. Niippon yang mendarat kok gudang-gudang yang dibakar)
Kutipan itu adalah bagian dari lakon gandrang bulo 1942. Saat istirahat kerja paksa, gandrang bulo biasanya dimainkan. Beberapa orang seniman tampil di depan teman lainnya diiringi musik. Mereka meniru-niru dan mencemooh gerak gerik dan prilaku tentara Jepang.
Kreasi gandrang bulo 1942 memang tidak terlepas dari kondisi sosial politik saat itu, yaitu masa penjajahan Jepang. Melalui pentas gandrang bulo, segala kekesalan ditumpahkan. Saat itu gandrang bulo juga berfungsi sebagai media penyadaran rakyat akan buruknya penjajahan.
Sekarang, gandrang bulo semakin berkembang. Sasaran kritik kini adalah perilaku pejabat. Uniknya, para pejabat justru suka gandrang bulo. Kesenian ini kerap diundang dalam berbagai acara resmi pemerintahan. Semakin banyak pejabat datang, semakin bersemangat para seniman gandrang bulo.
Gandrang bulo adalah kesenian cerdas. Semacam teater tradisional yang mengangkat berbagai tema dan isu sosial. Terkadang kritikan seniman gandrang bulo begitu keras. Namun dikemas dalam banyolan segar yang mengundang gelak tawa.
Pemain membawakan karakter lucu seperti orang idiot atau orang kampung yang lugu berhadapan dengan pemeran pejabat atau orang berkuasa yang angkuh. Orang idiot dan orang kampung itu selalu berhasil mencibir si pejabat. Begitu lucu gerak-gerik para pemain sehingga orang yang dikritik pun ikut tergelak tertawa.
Pementasan gandrang bulo diiringi musik tradisional yang terdiri dari potongan bambu yang diadu secara serentak, gendang, dan suling atau alat gesek tradisional Makassar. Para pemain gandrang bulo mengenakan pakaian tradisional.
Simaklah pementasan gandrang bulo di Paroppo beberapa waktu lalu. Pementasan ini mengambil tema dottor-dottoro (dokter-dokteran).
Seseorang dokter berbicara dengan pasien lugu yang tak memahami bahasa dokter. Lalu datanglah si mantri menjadi penerjemah. Namun bukannya menolong, si mantri malah memanfaatkan kebodohan pasien. Ia menerjemahkan perkataan dokter berdasarkan kepentingannya.
Ketika dokter meminta pembayaran, si mantri menerjemahkannya dengan harga dua kali lipat. Tentu saja pasien bersungut-sungut karena bayarannya terlalu mahal. "Alle dokttoro pallabusu doi! (Ambillah, dasar dokter pengeruk uang)" katanya. Lakon ini mengkritik biaya pengobatan yang mahal.
Menurut para seniman, perkembangan gandrang bulo terdiri dari dua fase. Fase pertama adalah gandrang bulo klasik yang terdiri dari tari dan musik saja. Fase pertama berkembang pada masa kerajaan. Fase kedua terbentuk pada tahun 1942 saat penjajahan Jepang. Pada fase kedua inilah unsur kritik dimasukkan.
Gandrang bulo 1942 dikreasi sehingga seniman dapat berimprovisasi leluasa melontarkan kritik mereka:
Tahun 1942 na mandara I Tuan Nippon caddi mata. Na passadia bokong latama ri Camba. Kasirati memang tongi I Balanda bunrang mata. Nippon mandara na gudang na tunu pepe. (Tahun 1942 mendarat Tuan Nippon si mata sipit. Menyiapkan bekal masuk ke daerah Camba. Memang kurang ajar si Belanda bermata kabur. Niippon yang mendarat kok gudang-gudang yang dibakar)
Kutipan itu adalah bagian dari lakon gandrang bulo 1942. Saat istirahat kerja paksa, gandrang bulo biasanya dimainkan. Beberapa orang seniman tampil di depan teman lainnya diiringi musik. Mereka meniru-niru dan mencemooh gerak gerik dan prilaku tentara Jepang.
Kreasi gandrang bulo 1942 memang tidak terlepas dari kondisi sosial politik saat itu, yaitu masa penjajahan Jepang. Melalui pentas gandrang bulo, segala kekesalan ditumpahkan. Saat itu gandrang bulo juga berfungsi sebagai media penyadaran rakyat akan buruknya penjajahan.
Sekarang, gandrang bulo semakin berkembang. Sasaran kritik kini adalah perilaku pejabat. Uniknya, para pejabat justru suka gandrang bulo. Kesenian ini kerap diundang dalam berbagai acara resmi pemerintahan. Semakin banyak pejabat datang, semakin bersemangat para seniman gandrang bulo.
0 komentar:
Posting Komentar